PENDAHULUAN
SELALU MENARIK untuk mengikuti “polah tingkah” seorang Gus Dur. Sosok kyai yang bernama asli KH. Abdurrahman Wahid ini selalu terkenal dengan komentar-komentar yang kadang berada “di luar jalur status kekyaiannya”. Berbagai pro dan kontra kerap mewarnai pemikiran-pemikiran muskil bin nyleneh yang ia lontarkan. Dampaknya luar biasa. Ada yang setuju, ada yang menghina, menganggapnya gila, bahkan ada yang sudah menganggapnya murtad. Yang lebih lucu, ada pula yang menganggapnya seorang wali “berdarah biru”, seorang habib ––turunan Rasulullah Saw–– terutama oleh pendukung yang pro terhadapnya. Dalam wilayah ormas islam –-khususnya NU—ia dianggap sebagai sosok kyai yang disegani. Dalam kancah politik, ia menjalankan strategi zigzag sehingga sulit ditebak oleh lawan-lawannya. Kadang pikirannya sama dengan orang kebanyakan, namun disaat lain, ia seperti menentang habis-habisan orang yang dulu sepaham dengannya.
Kata orang, Gus Dur terlalu maju untuk pemikiran orang-orang di Indonesia. Lalu bagaimana memahami seorang Gus Dur? Apakah ia memang bukan seorang manusia biasa seperti yang disangka selama ini? Apakah ia memang seorang kyai yang tidak lagi menjalankan tradisi kekyaiannya – bahkan menembus wilayah pesantren itu sendiri? Tulisan ini akan mengupas tentang jalan pikiran seorang Gus Dur yang kadang tidak bisa dimengerti –-bahkan oleh pendukungnya sendiri.
SEKELUMIT TENTANG GUS DUR
Tidak banyak tahu, kalau nama kecil Gus Dur adalah Abdurrahman Addakhil ( Addakhil = sang penakluk). Karena nama itu telah dilebur menjadi Abdurrahman Wahid karena menisbatkan pada nama ayahnya Wahid Hasyim –-anak KH. Hasyim Asy’ari, pendiri ormas islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Namun nama itu juga kalah populer. Orang kebanyakan akan memanggilanya Gus Dur sebagai panggilan penghormatan pada seorang anak kyai (Gus = Abang atau Mas).
Sewaktu masih sangat muda, Gus Dur adalah pribadi yang normal, seperti anak-anak kebanyakan. Yang membedakan hanyalah hobinya yang luar biasa gila untuk membaca. Dan ketika wawasan dan pengalamannya bertambah, ia berevolusi menjelma sebagai sosok yang “abnormal”, nyleneh sampai ada yang menganggapnya gila. Dan bagi saya, Gus Dur itu kompleks. Se-kompleks kultur masyarakat, bukan saja di Indonesia tetapi di dunia. Ini bisa dimaklumi, karena terkait erat dengan masa lalu yang dialami Gus Dur sendiri. Ia hidup dalam kultur masyarakat yang benar-benar kompleks.
Selain pernah tinggal di lingkungan pesantren, Gus Dur juga pernah tinggal di lingkungan yang dihuni oleh para birokrat –-karena ayahnya seorang Menteri Agama pertama dalam era kepemimpinan Soekarno. Ia pernah menetap di Mesir, Irak, Belanda, Kanada selain di Indonesia sendiri. Walaupun lahir dari kalangan Nadlatul Ulama, sewaktu remaja ia pernah hengkang dari pesantren –-karena tidak suka dengan aturan pesantren yang ketat— kemudian memilih kost di rumah salah seorang pengurus Muhammadiyah.
Lebih lanjut, Gus Dur yang waktu itu masih remaja –didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris– dalam waktu satu sampai dua tahun Gus Dur sanggup menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, seorang guru nya di sekolah menengah yang juga anggota Partai Komunis memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari penjelasan diatas, terllihat betapa luasnya kekayaan intelektual seorang Gusdur.
Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemaran ”ganjil” di kalangan pesantren ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai Juri Festival Film Indonesia. Tentu saja ini mengundang kecaman terutama dari kalangan pesantren dan pernah menjulukinya Kyai Ketoprak.
Dari berbagai biografi tentang Gus Dur, terlihat betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya. Ia bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua pernah ia alami.
Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gusdur sendiri.
Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN GUS DUR
Sebenarnya, jika kita jeli, pemikiran-pemikiran gusdur itu “biasa-biasa” saja. Ia memperlakukan manusia –dan segala kerumitan didalamnya– dalam kacamata filsafat manusia. Bukankah ini adalah hal wajar, sebagaimana Al Ghazali, Ibnu Sina, Plato, Aristotle, Ibnu Rusyd pun mempelajarinya. Pemikiran-pemikirannya sebenarnya merupakan sebuah pencernaan yang panjang sebagai hasil dari hobinya yang bisa dikatakan gila baca. Buku apa saja hampir dia baca, tak peduli pemikiran-pemikiran liar macam Das Kapital-nya Karl Max, yang mungkin bagi sebagian orang, buku tersebut sangat berbahaya dan haram dibaca umat Islam karena lahir dari seorang tokoh komunis cenderung atheis.
Ia memang terlihat seperti diktator, namun sebenarnya ia tengah “membebaskan” dirinya dan orang lain, terserah apa kata mereka. Ia seolah “tidak bisa dkritik” terutama oleh “rakyat-nya” sendiri, padahal sebenarnya ia telah berhasil menciptakan kritik yang ditujukan pada dirinya, terutama oleh orang-orang yang tidak begitu mengenalnya. Sampai disini ia telah berhasil “memancing” orang untuk bebas berpendapat dan berfikir.
Gus Dur tidak menginginkan orang harus memahami apa yang ia lakukan. Ia seperti seorang guru yang membebaskan muridnya untuk berpendapat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Yang diberikan Gus Dur sebenarnya adalah sebuah rangsangan, agar kita berfikir lebih kritis dalam menyikapi sesuatu, walaupun kebanyakan pengikutnya begitu patuh kepadanya, sesuai tradisi pesantren terutama dikalangan NU sendiri yang menganggap bahwa kyai adalah “segalanya”.
Untuk memahami Gusdur, setidaknya ada salah satu hal yang bisa menjelaskan semuanya. Yeni Wahid –anak Gus Dur– pernah mengatakan bahwa dasar pemikiran Gus Dur adalah kemanusiaan. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Ini yang kita sebut sebagai faham humanisme. Jika hal ini kita pahami, niscaya kita bisa mengetahui esensi dari pernyataan-pernyataan kontroversialnya selama ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan-pernyataan Gus Dur dalam berbagai pidatonya. Gus Dur sering mengungkapkan tiga macam ukhuwah penting yang harus dimiliki oleh muslim, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah/insaniyah.
Ukhuwah islamiyah, artinya persaudaraan sesama islam. Kita merasa disatukan dengan orang karena agama kita sama. Mungkin sebagia besar dari kita telah banyak menyuarakan hal ini. Namun berapa banyak dari kita yang benar-benar care dengan sesama muslim. Kita merasa, islam kita paling bener. Akibatnya menuding orang lain gak bener. Saling tuding menuding pun terus berlanjut. Tidak sampai disitu, jika perlu adu jotos demi menyuarakan “kebenaran” nekat dilakukan.
Ukhuwah wathoniyah, artinya merasa saudara sebangsa setanah air –sebuah slogan yang kerapkali didengungkan, bukan?. Namun kenyataannya, faham primordialisme masih mengakar kuat. Masih banyak yang lebih mengutamakan golongan sendiri-sendiri. Membela “mati-matian” partainya, sukunya, ormasnya, daerahnya dll dengan mengabaikan keutuhan bangsa dan negara. Ketika ada yang menyuarakan nasionalisme, dianggap tidak islami. Persoalan nasionalisme hanya berkutat pada masalah pesta 17 Agustusan, menyanyikan lagu wajib dll. Padahal, Rasulullah sendiri bersabda; cinta tanah air adalah sebagian dari iman, iya toh ? Mengapa mesti dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara?
Dan yang terakhir, kita menganggap saudara kepada orang lain karena dia masih manusia seperti kita. Ini yang disebut ukhuwah basyariyah/insaniyah. Lalu jika dia hewan atau tumbuhan lantas tidak dicintai? Wuah, ini jugandak bener. Nanti, lebih luas ke arah itu. Ukhuwah sesama makhluk hidup. Namun konsep ini terlalu luas karena tidak menyangkut hubungan antara manusia dg manusia. Nah, memanusiakan manusia. Itulah yang dilakukan Gus Dur. Kecil besar, kuat lemah, tinggi pendek, beragam warna kulit, sikap hidupnya dll adalah manusia juga yang harus dihargai hak-haknya dan kewajibannya.
Sebagian dari kita mungkin memiliki ukhuwah islamiyah yang kuat. Namun kadang terlalu kuat, hanya bertahan di level itu. Malah ada yang tidak punya sama sekali. Mungkin ada juga sampai ke tingkat ukhuwah wathoniyah. Namun itu belum cukup jika tidak di”sempurnakan” dengan ukhuwah insaniyah/basyariyah. Inilah maksud faham humanisme/ kemanusiaan yang sering dijadikan salah satu kerangka berfikir seorang Gus Dur. Makanya, sepintas pemikiran-pemikiran Gusdur terlihat bertentangan dengan Islam. Namun sebenarnya semuanya saling bersinergi satu dengan yang lainnya. Mencintai Islam berarti cinta tanah air dan bangsa. Mencintai Islam berarti mencintai sesama manusia. Bukankah ini adalah pelajaran paling dasar dalam ilmu agama –khususnya islam– bukan?
Selain faham humanisme yang telah dikemukakan diatas, saya juga ingin menambahkan satu hal, bahwa Gus Dur pun kadang-kadang –-tidak selalu– menganut faham “kebalikan”. Maksudnya, ia ingin menentang arus dengan pendapat umum mayoritas orang-orang. Tentu saja faham ini pun punya maksud tersendiri yang mungkin hanya Gusdur sendiri bisa menjelaskannya. Ia seolah membiarkan dirinya dicaci maki, dihina dll hanya demi tercapainya sebuah tujuan. Ia kadang bersifat seperti lilin, yang rela membiarkan dirinya terbakar habis hanya untuk memberikan cahaya dalam gelap. Namun faham kebalikan yang ia lancarkan berhasil menarik perhatian orang banyak. Dalam ilmu komunikasi, Gus Dur berhasil memancing perhatian orang untuk mendengarkan apa yang ia bicarakan. Ia berhasil membuat orang menjadi “heboh” membicarakan suatu topik masalah, untuk kemudian diangkat ke permukaan.
Sebagai contoh, pendapatnya tentang “Assalamu’alaikum” lebih baik diganti saja dengan “Selamat pagi” atau “Apa kabar”. Alasannya, hal itu terlihat lebih Indonesia. Tentu saja hal ini membuat marah umat Islam kebanyakan. Lah kok bisa, seorang kyai bisa berkata seperti itu? Jika kita tilik secara rasional, pendapat Gusdur ini benar-benar “manusiawi”. Indonesia begitu kompleks, tidak hanya terdiri dari satu golongan saja tetapi banyak. Dari segi agama, ada islam, kristen, katolik, budha, hindu. Dari segi etnis, ada jawa, sunda, china dll. Gus Dur berusaha merangkul semuanya. Bukan sekedar membela mayoritas, tetapi minoritas pun tetap dia anggap bagian dari masyarakat juga. Inilah maksud dari faham humanisme/kemanusiaannya Gus Dur. Mengenai sikap umat Islam yang “marah” dengan pendapatnya ini, sebenarnya Gus Dur sengaja “membakar emosi” mereka agarghirah umat islam bangkit. Berapa banyak umat islam yang akhirnya getol mengumandangkan salam, sebagai bentuk protesnya menentang Gus Dur. Banyak umat Islam berkomentar –bahkan dikampanyekan melaui tabligh– yang isinya mengupas tuntas pentingnya masalah salam, terutama bagi umat islam sendiri. Inilah maksud faham kebalikan Gus Dur. Sampai disini Gus Dur telah berhasil menjalankan misinya. Ia seolah ingin membudayakan salam dengan pendekatan yang berbeda. Disisi lain, masyarakat non-muslim pun merasa diakui keberadaannya. Inilah maksud dari ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah/insaniyah yang telah dikemukakan diatas.
Contoh lain, saat mendirikan partai –-walaupun sebenarnya saya pun tidak terlalu suka dengan partai karena kebanyakan punya kepentingan masing-masing dan melupakan kepentingan bersama– ia emoh menggunakan asas Islam, yang sekarang ini diperbolehkan menyusul dicabutnya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi melalui sebuah ketetepan MPR. Gus Dur lebih memilih asas Pancasila. Dampaknya sungguh luar biasa, mulai dari cibiran, cacian dll walapun ada juga yang memujinya. Rupanya Gus Dur telah siap dengan semua itu. Dalam kasus ini, kembali prinsip kemanusiaan ia utamakan. Terlepas dari kebijakan apakah tujuannya menggunakan asas Pancasila agar memperoleh suara banyak dalam pemilu –karena pemilihnya bukan hanya dari Islam– namun ia berusaha mengutamakan kepentingan orang banyak melalui Pancasila. Kita tahu, unsur ketuhanan yang maha esa pun diakui dalam dasar negara kita itu. Ini pun berarti pancasila pun mengakui keberadaan islam –dan lainnya– dalam kehidupan kompleks berbangsa dan bernegara. Ia bukannya emoh dengan hukum islam, tetapi lebih tidak ingin islam hanya sekedar simbolis belaka atau hukum islam tidak dijalankan secara kaffah (menyeluruh). Ia juga tidak ingin memecah-mecah suara islam dalam kotak yang berbeda-beda. Kalo asasnya kebangsaan, sudah wajarlah Islam memang harus ada di mana-mana. Tapi kalau banyak partai berasas islam, tentu saja suara islam seakan-akan terlihat pecah, dianggap tidak solid dimata agama lain. Yang lebih parah, jika ada anggota partai islam itu yang tidak bersikap sesuai syariat islam, misalnya melakukan korupsi, kolusi dll. Wuah, ini jelas-jelas akan menjadi preseden buruk bagi nama islam sendiri toh?
Mungkin setidaknya dua hal ini -–yakni faham humanisme dan faham kebalikan– dari dua contoh diatas yang bisa digunakan untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran “menyimpang”nya selama ini. Namun Gus Dur terlalu kompleks. Paparan yang saya jelaskan diatas mungkin saja hanya sebagian kecil dari kekompleks-an seorang Gus Dur yang pernah hidup diberbagai lapisan masyarakat –yang juga kompleks.
Emha Ainun Najib pernah punya pengalaman unik bersama Gusdur yang akhirnya mengantarnya pada pemahaman seorang Gus Dur. Suatu hari Cak Nun –-panggilan akrab Emha Ainun Najib—bertamu kerumah Gus Dur. Ia disambut Gus Dur dengan menawari sebuah minuman. Ketika minuman yang menggugah selera itu telah terhidang di atas meja, Gus Dur mengatakan terlebih dahulu kepada Cak Nun bahwa sebelum minuman itu terhidang, gelasnya telah ia cuci kemudian di-lap dengan menggunakan (maaf) celana dalam miliknya. Kekagetan Cak Nun tidak berhenti sampai disitu ketika Gus Dur pun mengatakan bahwa karena sendoknya tidak ada, maka untuk mengaduk minuman tersebut menggunakan sikat gigi miliknya yang ada di kamar mandi. Tentu saja Cak Nun makin kaget. Keinginannya untuk segera menyeruput minuman “nikmat” itu hilang seketika mendengan pengakuan jujur seorang Gus Dur. Ia ragu untuk meminumnya karena dibayang-bayangi perasaan jijik, mual dan lain sebagainya. Seperti tahu keengganan Cak Nun dengan minuman yang telah terhidang diatas meja tersebut, Gus Dur pun mengatakan, “Sampeyan jangan merasa jijik dengan minuman itu. Tenang saja kok, semuanya masih baru—maksudnya celana dalam dan sikat gigi tersebut”. Akhirnya, Emha Ainun Najib sadar dan merasa paham dengan pemikiran-pemikiran “nyleneh” Gusdur selama ini.
Gus Dur seperti hendak membalik logika berfikir kita. Ia tidak seperti kebanyakan yang hanya bisa setuju dengan pendapat orang tanpa tahu pendapatnya sendiri –-dalam bahasa agama ini yang disebut taqlid buta. Kadang pemikirannya jauh melampaui rakyat yang dipimpinnya sendiri. Ia terlalu visioner. Ibarat sebuah kapal jet ia melaju sangat kencang meninggalkan rakyatnya sendiri yang masih berkendara sepeda. Makanya, kadang jalan pikirannya kurang dimengerti oleh banyak orang karena manuver-manuver berbahaya yang ia lontarkan dalam kehidupan bermasyarakatnya (entah itu politik, sosial, keagamaan, ekonomi dll). Malah ada yang menganggapnya wali segala –serupa dengan Syekh Siti Jenar. ia kadang berfikir diluar kerangka berpikir masyarakat pada umumnya. Jalan pikirannya seolah keluar dari kotak yang telah digariskan –berfikir out of box–. Yang ia ungkapkan dalam pemikirannya adalah esensinya saja. Hal ini tentu saja sangat membingungkan masyarakat yang belum siap untuk maju. Seperti seorang petani ndeso yang dihadiahi sebuah komputer super canggih. Kadang kita terlalu berpikir hitam putih dalam menilai sesuatu. Padahal, kenyataannya dalam hidup bermasyarakat tidak sesederhana itu. Warna masyarakat tidaklah hitam putih, tetapi abu-abu dengan kadar gelap terangnya yang bervariasi. Nah, Gusdur berfikir dalam kerangka wilayah itu.
Ke“nyleneh”an Gus Dur tidak datang begitu saja, tanpa pikir panjang. Tapi hal itu muncul sebagai akibat interaksinya dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, status sosial, pemikiran yang berbeda-beda. Ia “meniru” para kyai sepuh yang mungkin lebih nyleneh dari dirinya —hanya saja kenylenehan mereka tidak tampak secara luas di masyarakat umum. Hal ini dkombinasikan dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari berbagai macam buku yang ia baca, persentuhannya dengan dunia luar (di Mesir, Irak, Belanda, Kanada dll). Ia menyerap banyak hal dari pengalamannya, kemudian akhirnya menghasilkan pemikiran baru khas Gus Dur. Sungguh, ini bukanlah sebuah perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu singkat. Butuh proses yang sangat panjang, dan proses itu masih berlangsung sampai kini.
Hal ini bisa dipahami. Anaknya sendiri pernah bilang kalau sang bapak sebelum mengemukakan sebuahstatement, jauh hari sebelumnya Gus Dur telah memikirkannya matang-matang. Bahkan perubahan itu tampak pada sikap kesehariannya seperti menjadi tampak serius. Ini jauh berbeda dengan anggapan masyarakat umum yang menilai Gus Dur kalo bicara suka ceplas ceplos, seenaknya sendiri seolah nggak dipikir dulu. “Ini sungguh berbahaya!” kata mereka.
Namun sekali lagi, Gus Dur juga seorang manusia, yang bisa saja salah. Seorang wali bahkan nabi pun pernah melakukan kesalahan. Maka tidaklah pantas kita terlalu mengagung-agungkannya, mengkultus individukannya, bersikap ashobiyah–fanatisme berlebihan. Sama tak pantasnya kita mencacinya berlebihan pula, bahkan sampai menganggapnya “gila” bahkan murtad –keluar dari islam. Setidaknya dia hanya seorang anak bangsa –bahkan sekarang malah ada yang sudah menganggapnya sebagai guru bangsa– yang telah menyumbangkan pemikirannya untuk bangsa ini, terlepas dari pemikiran-pemikirannya yang sangat kontroversial itu. Namun justru disetiap kesempatan, orang-orang masih tertarik atas komentar-komentar “ngasal” Gus Dur. Dengan harap-harap cemas, masyarakat tertarik juga untuk sekedar mendengar pendapat Gus Dur –entah itu dari pendukungnya atau lawannya. Akhirnya, saya hanya bisa tersenyum geli ketika Gus Dur siap-siap melancarkan pemikiran nylenehnya ke masyarakat. Entah, lakon kehidupan apalagi yang akan ia perankan.
Semua diperbolehkan untuk berkomentar, entah benar ataupun salah tidak ada ukuran baku yang bisa menilainya. Tergantung dari sudut pandang apa ia menilainya. Seperti halnya pendapat saya dalam tulisan ini, bisa benar atau mungkin bisa saja disalahkan –bahkan oleh Gus Dur sendiri. Lha wong namanya juga pendapat, iya toh?
0 komentar:
Posting Komentar